Notifikasi M-Banking di awal bulan adalah salah satu candu paling legal di era ini. Sebuah angka dengan nominal “dua digit” muncul di layar, dan seketika, dunia terasa lebih ramah. Kopi mahal terasa pantas, makan di restoran mewah bukan lagi dosa, dan cicilan barang impian tampak lebih ringan. Inilah validasi. Inilah bukti bahwa kita telah “berhasil” di ibu kota yang kejam ini. Kita memotretnya dalam senyum di Instagram story, dalam traktiran untuk teman-teman, dalam pencapaian-pencapaian materi yang bisa kita tunjukkan. Kita berhasil masuk ke dalam klub elite para pejuang karier yang sukses.
Tapi, ada harga yang sering kali tidak kita bicarakan. Ada neraca lain yang angkanya justru terus menurun. Saat angka di rekening bank kita menyentuh dua digit, tanpa sadar, skor kesehatan mental kita mungkin sudah anjlok di level satu digit. Inilah realita pahit di balik gemerlapnya “kesuksesan” yang kita kejar mati-matian. Bagaimana kita bisa sampai di titik ini? Polanya sering kali sama. Kita masuk ke dalam sebuah sistem yang mengagungkan “hustle culture” sebagai agama. Bekerja melewati jam kantor dianggap dedikasi. Membalas email atau chat di akhir pekan adalah bukti loyalitas. Istirahat dianggap kemalasan, dan mengambil cuti sering kali disertai rasa bersalah.
Lingkungan kerja berubah menjadi arena gladiator yang senyap. Kita tidak saling tikam secara harfiah, tapi kita saling mengukur. Mengukur siapa yang paling sibuk, siapa yang paling sering lembur, siapa yang paling dipuji atasan. Kita terjebak dalam perlombaan tak kasat mata untuk membuktikan bahwa kita adalah yang paling “berkontribusi”. Slogan “Work-Life Balance” terdengar indah di seminar HRD, namun dalam praktiknya, ia sering kali menjadi mitos. Batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menguap. Laptop adalah perpanjangan tangan, dan notifikasi Slack atau WhatsApp adalah detak jantung kedua kita — detak jantung yang penuh kecemasan. 
Jika perusahaan punya laporan laba rugi, jiwa kita pun punya. Dan kerugian itu muncul dalam bentuk gejala-gejala yang terlalu familiar bagi banyak dari kita:
- The Sunday Scaries: Rasa cemas dan mual yang mulai muncul sejak Minggu sore, membayangi sisa akhir pekan kita. 
- Asam Lambung Naik Jadi Teman Baik: Stres tidak hanya menyerang pikiran, tapi juga fisik. GERD, sakit kepala, dan insomnia menjadi paket bonus dari gaji yang kami terima. 
- Mati Rasa Emosional: Kehilangan minat pada hobi yang dulu kita cintai. Bertemu teman terasa seperti tugas, bukan lagi sumber kebahagiaan. 
- Menangis di Toilet Kantor: Momen singkat di mana topeng profesionalisme kita retak, dan kita membiarkan diri kita hancur selama lima menit sebelum kembali ke meja dengan senyum palsu. 
- Bangga karena Kurang Tidur: “Gila, semalem gue cuma tidur 3 jam,” menjadi sebuah medali kehormatan, bukan sebuah tanda bahaya. 
Kita menjadi mesin yang efisien dalam bekerja, namun menjadi manusia yang disfungsional dalam merasa. Kita kaya secara finansial, tapi miskin secara emosional. 
Kita menerima pertukaran yang tidak adil karena masyarakat—dan sering kali diri kita sendiri—menjual narasi bahwa pengorbanan ini sepadan. Bahwa penderitaan di usia muda adalah investasi untuk kebahagiaan di masa tua. Tapi benarkah demikian? Apa artinya memiliki rumah besar jika kita tidak pernah merasa “pulang” dan tenang di dalamnya? Apa gunanya bisa berlibur ke tempat-tempat indah jika pikiran kita masih tertinggal di tumpukan pekerjaan?
Inilah saatnya untuk berhenti dan menata ulang definisi “untung”. Keuntungan sejatinya bukan sekedar nominal. Keuntungan sebenarnya adalah:
- Punya waktu untuk makan siang dengan tenang, tanpa terburu-buru. 
- Bisa tidur nyenyak di malam hari tanpa dihantui kecemasan akan hari esok. 
- Memiliki energi untuk tertawa tulus bersama orang-orang terkasih di akhir pekan. 
- Merasa damai dengan diri sendiri. 
Ini bukan ajakan untuk berhenti bekerja keras atau menjadi pemalas. Ini adalah ajakan untuk menjadi lebih cerdas dalam mendefinisikan kemenangan kita. Untuk membangun batasan yang sehat. Untuk berani mengatakan “tidak”. Dan yang terpenting, mengakui bahwa meminta bantuan—baik kepada teman, keluarga, atau profesional—bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah paling logis untuk menyelamatkan aset kita yang paling berharga: kewarasan kita.
Pada akhirnya, neraca keuangan yang paling penting bukanlah yang ada di bank, melainkan yang ada di dalam jiwa. Jangan sampai kita untung di dunia, tapi bangkrut di dalam.
Artikel dibuat oleh:
DHIYA ULHAQ
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam – UMJ
Penerima Beasiswa Program 1000 Da’i